Jalan Malioboro: Dari Gelar Inggris hingga Filosofi Jawa, Darimana Asalnya?

jalan malioboro jogja

Mulai dari nama lagu, judul cerpen, judul film, nama kereta dan banyak lagi, Jalan Malioboro memang sudah seterkenal itu. Terletak di sebelah utara Titik Nol Kilometer Jogja, kawasan ini memang pantas untuk dikunjungi, minimal seumur hidup sekali!

Asal Usul Nama Jalan Malioboro: Mengupas Empat Teori yang Melingkupinya

Jalan Malioboro yang menjadi ikon Yogyakarta menyimpan sejarah dan makna filosofis yang mendalam. Asal usul nama jalan ini masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan budayawan, dengan setidaknya empat teori yang mendasari asal-usulnya.

Teori Pertama: Nama dari Gelar Inggris

Teori pertama menyatakan bahwa nama Malioboro diambil dari gelar John Churchill, Adipati Marlborough Pertama (1650-1722). John Churchill adalah seorang jenderal Inggris yang terkenal pada masanya, dan namanya digunakan untuk Benteng Marlborough di Bengkulu, sebuah benteng pertahanan yang dibangun oleh Inggris. Namun, teori ini mendapat sanggahan dari sejarawan Peter Carey yang berpendapat bahwa tidak mungkin jalan utama bagi Kesultanan Yogyakarta dinamai berdasarkan nama seorang tokoh Inggris.

Teori Kedua: Nama dari Penginapan Jayengrana

Teori kedua diajukan oleh seorang tokoh asal Jogja yang berpendapat bahwa nama Malioboro mungkin berasal dari nama penginapan (pesanggrahan) yang digunakan oleh Jayengrana (Amir Hamzah), tokoh utama dalam Cerita Menak yang mengadopsi Hikayat Amir Hamzah. Cerita ini sangat populer di kalangan masyarakat Jawa dan sering dianggap memiliki hubungan historis dengan berbagai tempat di Yogyakarta.

Teori Ketiga: Asal Usul dari Bahasa Sanskerta

Teori ketiga, yang diusulkan oleh Peter Carey, menyatakan bahwa nama Malioboro berasal dari bahasa Jawa “maliabara” yang diadopsi dari bahasa Sanskerta “malyabhara,” yang berarti “dihiasi karangan bunga.” Menurut teori ini, penggunaan bahasa Sanskerta untuk penamaan jalan sangat masuk akal, terutama mengingat bahwa nama “Ngayogyakarta” sendiri berasal dari bahasa Sanskerta “Ayodhya,” yang merujuk pada ibu kota kerajaan Rama dalam epos Ramayana. Teori ini juga didukung oleh Profesor C.C. Berg dan Dr. O.W. Tichelaar yang menyinggung hubungan antara “Maliabara” dan “malyabhara” dalam karya ilmiah mereka.

Teori Keempat: Hubungan dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta

Teori keempat berpendapat bahwa nama Malioboro berkaitan dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Nama Malioboro diyakini berasal dari gabungan kata “malio” yang berarti “jadilah wali” dan “boro” yang berarti “mengembara.” Etimologi1cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata. ini mengandung filosofi perjalanan hidup manusia yang mengikuti ajaran para wali untuk mencapai kemuliaan, sebagaimana diwakili oleh jalan-jalan lain seperti Marga Utama dan Marga Mulya. Menurut teori ini, setelah manusia mencapai hubungan tertinggi dengan Tuhannya (dilambangkan dengan Tugu Yogyakarta), mereka akan meraih keutamaan dan kemuliaan.

Perubahan Nama Menjadi Margaraja

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Jalan Malioboro sempat mengalami perubahan nama menjadi “Margaraja,” yang berarti jalan bagi tamu-tamu kerajaan menuju kediaman raja (Keraton). Nama ini diberikan sesuai fungsi awal dari Malioboro yang menjadi jalan utama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Seiring berjalannya waktu, nama Malioboro kembali digunakan dan tetap menjadi salah satu ikon paling terkenal di Yogyakarta, dengan berbagai makna dan sejarah yang melekat di baliknya.

Sejarah Jalan Malioboro

Dari Era Pra-Kemerdekaan hingga Pengaruh Kolonial

Jalan Malioboro di Yogyakarta, sebelum masa kemerdekaan, memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan kesultanan. Awalnya, jalan ini ditata sebagai sumbu imaginer yang menghubungkan Pantai Parangkusumo, Kraton Yogyakarta, hingga Gunung Merapi. Dalam tradisi Jawa, sumbu imajiner ini memiliki makna sakral, menggambarkan keselarasan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Baca Juga: Data Jarak Luncuran Awan Panas Gunung Merapi 

Peran Sebagai Jalan Utama Kesultanan

Sebagai jalan utama kerajaan, atau yang dikenal dengan istilah rajamarga, Jalan Malioboro digunakan untuk berbagai kegiatan seremonial kesultanan. Ketika Sultan Yogyakarta keluar dari keraton dan duduk di Sitinggil2 berarti tanah yang ditinggikan yang memiliki fungsi agar dapat terlihat dan melihat. dalam upacara publik, pandangan Sultan akan langsung tertuju ke arah Jalan Malioboro hingga Tugu Yogyakarta di kejauhan. Di sepanjang jalan, terdapat dua pohon beringin kembar di Alun-alun Utara yang melambangkan penyatuan dua hal yang bertolak belakang, sebuah konsep yang dikenal sebagai loroning atunggal. Simbolisme ini mencerminkan filosofi yang mendalam yang diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwana I.

Fungsi Kolonial dan Seremonial

Pada masa kolonial, Jalan Malioboro tidak hanya berfungsi sebagai jalan utama kesultanan, tetapi juga menjadi jalur bagi pejabat kolonial, baik dari Belanda maupun Inggris, untuk memasuki Keraton Yogyakarta. Jalur ini memiliki dua fungsi utama: sebagai bentuk penghormatan kepada pejabat yang berkunjung, dan sebagai upaya untuk menetralisir kekuatan pejabat tersebut. Dalam filosofi Jawa, arah utara sering diasosiasikan dengan kegelapan, kematian, dan ilmu hitam, sehingga melalui Tugu dan beringin kurung di sepanjang Jalan Malioboro, diyakini dapat menetralisir kekuatan negatif dari pejabat yang berkunjung.

Keberagaman Etnis dan Pengaruh Arsitektur

Pada abad ke-18, Jalan Malioboro menjadi tempat tinggal bagi orang-orang dari berbagai etnis, termasuk Jawa, Tionghoa, dan Belanda. Sejak tahun 1765, orang-orang Belanda dan Tionghoa mulai menghuni bagian utara Kota Yogyakarta, sementara orang Jawa menghuni bagian lainnya. Hal ini tercermin dari arsitektur pemukiman di sekitar Malioboro yang merupakan campuran dari gaya Jawa, Tionghoa, dan Belanda. Di bagian selatan Malioboro, misalnya, arsitekturnya lebih dipengaruhi oleh gaya Tiongkok, sementara di bagian utara lebih banyak dipengaruhi oleh arsitektur Jawa dan Belanda.

Perkembangan pada Masa Kolonial

Malioboro mulai berkembang pesat pada masa kolonial, khususnya pada tahun 1790 ketika Pemerintah Belanda membangun Benteng Vredeburg di ujung selatan jalan ini. Selain itu, Belanda juga mendirikan beberapa bangunan penting lainnya seperti Dutch Club pada tahun 1822, Kediaman Gubernur Belanda pada tahun 1830, serta Bank Java dan Kantor Pos tak lama setelahnya. Perkembangan ini semakin memperkuat peran Malioboro sebagai pusat perdagangan antara pedagang Belanda dan Tionghoa.

Pada tahun 1887, Jalan Malioboro dibagi menjadi dua bagian dengan didirikannya Stasiun Tugu, sebuah tempat pemberhentian kereta api yang hingga kini menjadi salah satu ikon kota Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu, pengaruh Belanda dan Tionghoa semakin kuat, terutama setelah pembangunan Benteng Vredeburg hingga tahun 1936. Orang Belanda mendominasi pemukiman di sekitar benteng dan sisi selatan stasiun, sementara etnis Tionghoa mendominasi pemukiman di sepanjang Jalan Malioboro.

Penggunaan Jalan Malioboro dalam Upacara Tradisional

Selain perannya dalam kehidupan sehari-hari dan perdagangan, Jalan Malioboro juga menjadi tempat penting dalam upacara tradisional. Misalnya, pada saat pandemi flu Spanyol pada Oktober-November 1918 dan wabah penyakit pada tahun 1932, jalan ini digunakan untuk arak-arakan keliling kota membawa pusaka kerajaan, Kangjeng Kyai Tunggul Wulung dan Kangjeng Kyai Pare Anom. Upacara ini dilakukan dengan harapan agar wabah segera berakhir dan masyarakat Yogyakarta terhindar dari bencana.

Era Kemerdekaan hingga Tahun 2000: Jalan Malioboro dan Peranannya dalam Sejarah Indonesia

Jalan Malioboro tidak hanya menjadi saksi bisu dari perkembangan kota Yogyakarta, tetapi juga memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu peristiwa bersejarah yang terjadi di kawasan ini adalah Serangan Umum 1 Maret 1949. Pertempuran sengit antara pejuang kemerdekaan dan pasukan kolonial Belanda terjadi di sisi selatan Jalan Malioboro. Dalam peristiwa ini, pasukan Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam, membuktikan kepada dunia bahwa angkatan perang Indonesia masih ada dan kuat. Peristiwa ini menjadi salah satu tonggak penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Jalan Malioboro Sebagai Pusat Upacara dan Pawai Militer

Setelah kemerdekaan, Jalan Malioboro terus berperan sebagai pusat kegiatan penting di Yogyakarta. Setiap tahunnya, jalan ini digunakan untuk pawai tahunan pasukan garnisun3dari kata pada bahasa Prancis garnison, dari kata dasar “garnir” yang berarti “melengkapi”) adalah sebutan untuk sekelompok pasukan yang bertempat di suatu lokasi, dan bertujuan untuk mengamankan lokasi tersebut. Yogyakarta dalam rangka peringatan Hari Angkatan Bersenjata yang jatuh pada tanggal 5 Oktober. Pawai ini tidak hanya menjadi ajang untuk memperingati jasa para pahlawan, tetapi juga menjadi atraksi yang menarik perhatian masyarakat dan wisatawan.

Transformasi Jalan Malioboro pada Era 1980-an

Memasuki era 1980-an, Jalan Malioboro mengalami transformasi yang cukup signifikan. Awalnya, jalan ini merupakan jalan dua arah, namun pada tahun 1980-an, jalan ini diubah menjadi jalan satu arah. Arah lalu lintas dialihkan dari jalur kereta api di utara menuju Pasar Beringharjo di selatan. Perubahan ini dilakukan untuk mengakomodasi pertumbuhan jumlah kendaraan dan aktivitas perdagangan yang semakin meningkat di kawasan ini.

Di ujung utara Jalan Malioboro, berdiri Hotel Garuda, hotel terbesar dan tertua di Yogyakarta. Hotel ini terletak di sisi timur jalan, berdekatan dengan jalur kereta api, dan menjadi salah satu landmark penting di kawasan ini. Selain itu, di sisi timur jalan juga terdapat bekas kompleks Kepatihan, yang dahulu merupakan kediaman perdana menteri Kesultanan Yogyakarta.

Malioboro sebagai Pusat Komersial

Pada era yang sama, Malioboro semakin berkembang menjadi pusat komersial yang ramai. Toko-toko dan pedagang kaki lima memenuhi sepanjang jalan, menjadikannya pusat perbelanjaan dan tempat berkumpulnya masyarakat. Salah satu ikon yang pernah menghiasi jalan ini adalah iklan rokok Marlboro yang dipasang pada bangunan pertama di sebelah selatan jalur kereta api. Iklan ini menarik perhatian baik penduduk lokal maupun turis asing, menambah kesan unik dari Jalan Malioboro yang menjadi pusat pertemuan antara budaya lokal dan pengaruh asing.

Era 2000 hingga Sekarang

Memasuki era modern, Jalan Malioboro semakin mengukuhkan dirinya sebagai salah satu pusat perekonomian, hiburan, wisata, dan kuliner utama di kota Yogyakarta. Jalan ini tidak hanya menjadi tempat yang ramai oleh pedagang kaki lima (PKL) dan pertokoan, tetapi juga menjadi destinasi favorit bagi penduduk lokal dan wisatawan yang datang berkunjung ke Yogyakarta.

Pada 20 Desember 2013, Sri Sultan Hamengkubuwono X mengembalikan nama dua ruas jalan di kawasan Malioboro ke nama aslinya. Jalan Pangeran Mangkubumi diubah menjadi Jalan Margo Utomo, sementara Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi Jalan Margo Mulyo. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mengembalikan makna filosofis dan sejarah yang melekat pada kawasan ini.

Penataan Kawasan dan Relokasi PKL

Pada tahun 2019, pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mulai melakukan penataan besar-besaran terhadap Jalan Malioboro. Dalam sebuah grand design yang dirancang untuk menjadikan Malioboro sebagai kawasan semi-pedestrian, pemerintah berupaya menciptakan lingkungan yang lebih nyaman dan menarik bagi wisatawan. Penataan ini melibatkan pembangunan 37 sarana prasarana dengan total biaya mencapai Rp 78 miliar, yang selesai pada tahun 2021.

Salah satu langkah penting dalam penataan ini adalah relokasi pedagang kaki lima (PKL) yang berada di sepanjang Jalan Malioboro. Mereka dipindahkan ke Pusat UMKM yang berada di depan Pasar Beringharjo dan bekas gedung Dinas Pariwisata DIY. Relokasi ini ditargetkan dimulai pada Januari 2022 dan bertujuan untuk mengurangi kepadatan di sepanjang Jalan Malioboro, sekaligus memberikan ruang yang lebih luas bagi pejalan kaki.

Pengakuan Dunia: Jalan Malioboro sebagai Situs Warisan Dunia

Pengakuan terhadap pentingnya Jalan Malioboro tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari dunia internasional. Pada 18 September 2023, kawasan Malioboro bersama dengan Tugu Yogyakarta, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Panggung Krapyak ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Penetapan ini dilakukan dalam Sidang Luar Biasa ke-45 Komite Warisan Dunia di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tanggal 10 hingga 25 September 2023.

Penetapan ini merupakan pengakuan terhadap nilai historis, budaya, dan filosofis yang dimiliki oleh Jalan Malioboro dan kawasan sekitarnya. Dengan status baru sebagai situs warisan dunia, Jalan Malioboro diharapkan dapat terus dilestarikan dan dijaga sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia yang tak ternilai harganya.

Jalan Malioboro telah melalui berbagai fase transformasi yang menjadikannya salah satu ikon terpenting di Yogyakarta. Dari pusat perjuangan kemerdekaan, pusat ekonomi, hingga menjadi bagian dari warisan dunia, jalan ini terus menjadi saksi bisu dari perkembangan kota Yogyakarta dan bangsa Indonesia.

Referensi: Wikipedia

  • 1
    cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata.
  • 2
    berarti tanah yang ditinggikan yang memiliki fungsi agar dapat terlihat dan melihat.
  • 3
    dari kata pada bahasa Prancis garnison, dari kata dasar “garnir” yang berarti “melengkapi”) adalah sebutan untuk sekelompok pasukan yang bertempat di suatu lokasi, dan bertujuan untuk mengamankan lokasi tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *